Luki Aulia dan Rakaryan Sukarjaputra
Berawal dari pengumpul jajak pendapat (pollster) lapangan bagi firma milik Louis Harris pada 1964, tidak lama setelah Presiden John F Kennedy terbunuh tahun 1963, Peter Hart kini dikenal sebagai pollster sekaligus analis andal untuk pendapat publik terkait tokoh-tokoh politik tertentu, seperti calon presiden, calon gubernur, atau calon senator.
”Pemilu ini penting karena saat ini kami berusaha keras untuk bersatu sebagai kesatuan negara AS dan tidak lagi memikirkan diri sendiri sebagai Republik atau Demokrat. Mulai ada keinginan untuk menangani dan menyelesaikan persoalan secara bersama-sama,” ungkapnya.
Setelah era 1960-an yang sangat hidup, perpolitikan AS pada era 1970-1980-an, dalam pandangan Hart, memasuki periode yang relatif tenang dengan orientasi lebih banyak ke dalam. Di antaranya karena skandal Watergate. Namun, Kongres secara umum tetap bekerja dengan baik.
Memasuki tahun 1990-an mulai terjadi polarisasi politik. Republik dan Demokrat tampak membenci satu sama lain dan tidak bekerja sama dengan baik. Masing-masing partai saling mencari kesalahan lawannya dan tidak ada lagi agenda yang sama.
”Kami melalui masa-masa itu mulai dari kepemimpinan (Bill) Clinton sampai dengan George W Bush sekarang ini. Apa yang terjadi sejak itu, Republik dan Demokrat justru tidak menyelesaikan berbagai persoalan secara bersama-sama, tetapi sibuk memfokuskan diri pada kelemahan atau kesalahan satu sama lain,” katanya.
”Akibatnya, masalah yang dihadapi AS semakin parah, seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, energi, juga posisi AS yang jatuh di mata dunia,” papar pemilik firma Peter D Hart Research Associates Inc, yang berdiri tahun 1971 ini.
Bersama-sama NBC dan The Wallstreet Journal, Peter Hart pun aktif melakukan pengumpulan aspirasi pemilih AS sejak awal proses pemilihan presiden AS bergulir tahun ini. Karena itu, dia tidak terkejut dengan munculnya Barack Obama sebagai kandidat Demokrat dan John McCain sebagai kandidat Republik
Jajak pendapat yang dikumpulkan Peter Hart bersama timnya, sejak awal menunjukkan mayoritas publik AS merasa negaranya kini berada di jalan yang salah dan kehidupan mereka cenderung terus memburuk. Karena itulah, mereka sangat kuat menginginkan perubahan dari apa yang dilakukan rezim AS sekarang ini.
”Ada tiga kata kunci dalam pemilu kali ini, yakni transparansi, otentik, dan persatuan,” tutur Hart tegas.
Transparan maknanya para pemilih bisa tahu dan mengerti hal-hal yang terkait dengan kandidat presiden. Otentik artinya, rakyat AS menginginkan kandidat itu jujur, tulus, dan menjadi dirinya sendiri, bukan politikus.
”Rakyat AS memandang Barack Obama dan John McCain tampil sebagai dirinya sendiri, bukan politikus. Sebaliknya, Hillary Clinton (calon Demokrat) dan Rudy Giuliani (calon Republik) justru dianggap tipikal politikus yang tidak tulus,” paparnya.
Adapun persatuan adalah kriteria di mana para calon yang mengedepankan sekaligus mendorong persatuan seluruh warga AS. Inilah yang lebih mereka dukung.
Sains baru
Meski banyak pengumpul pendapat lain bermunculan di AS dan data-data hasil jajak pendapat mereka bermunculan di berbagai media massa, Peter Hart tidak merasa tersaingi. Sebab, dia dan firmanya memang menawarkan suara pemilih yang lebih dalam.
”Polling adalah seni dan sains yang sangat baru. Ada bagian sainsnya karena kita harus bisa memastikan polling itu valid, dengan metode sampling yang benar, dan lain-lain, sehingga bisa lebih dipahami, sedangkan bagian seninya terkait dengan pertanyaan yang diajukan, cara bertanya, dan cara menginterpretasikan jawaban publik sehingga dalam jajak pendapat itu ada elemen penilaian dan elemen kreatifnya,” ujarnya.
Pengalaman mendengarkan aspirasi publik selama empat dekade membuat Hart sangat memahami bahwa bagi publik AS pada akhirnya karakter seorang calon pemimpin, baik itu gubernur, anggota Kongres, atau presiden, lebih penting ketimbang program-program yang ditawarkannya.
Berkat bekal pengalaman bertahun-tahun berkutat dengan pikiran rakyat AS, berbicara dengan Hart selama hampir satu jam terasa seperti masuk ke dalam pikiran rakyat AS.
”Cara kita melihat suatu persoalan akan menentukan cara kita melihat kandidat dan mengetahui karakternya. Jika kandidat berjuang untuk orang- orang miskin, kita akan tahu program dan latar belakangnya. Kalau kandidat itu memperjuangkan komunitas bisnis, kita juga akan tahu latar belakangnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Hart mengakui, potensi keliru memilih calon selalu ada. Contohnya adalah pilihan rakyat AS terhadap Presiden George W Bush, yang justru kemudian dianggap sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS.
”Ketika itu rakyat AS melihat Bush sebagai orang yang tidak memiliki persoalan moral, mempunyai keluarga yang baik, dan dianggap mewakili kandidat yang memiliki nilai-nilai Nasrani yang baik. Mereka tidak mau melihat kejelekan-kejelekan Bush dan cara pengambilan keputusannya. Mereka hanya merasa nyaman dengan Bush, tetapi rupanya mereka keliru atau salah pilih,” tuturnya.
Akibat salah pilih itu, kata Hart, delapan tahun terakhir ini adalah masa yang terburuk dalam sejarah AS dan sekarang seluruh rakyat AS menanggung akibatnya. Meski demikian, itu adalah bagian dari proses belajar yang sangat baik.
”Saya sangat menghargai dan percaya kepada para pemilih. Kita harus memahami pikiran rakyat untuk melakukan perubahan. Jangan justru mempermainkan rakyat. Ini semua demi memastikan agar demokrasi benar-benar berfungsi seperti yang diharapkan. Itu yang saya lakukan selama ini dan saya bangga melakukannya,” kata Hart, seperti mengingatkan rakyat Indonesia yang akan melaksanakan pemilu presiden tahun depan.(kompas)