Setelah musibah dan bencana bertubi-tubi menimpa warga, ada tiga pertanyaan yang dapat diajukan kepada pemerintah yakni apa yang bisa rakyat harapkan? Apa yang seharusnya rakyat lakukan? Apa yang dapat rakyat ketahui? Baik pemerintah maupun rakyat dihadapkan pada pekerjaan rumah. Dari belum adanya penyelesaian menyeluruh yang menyentuh seluruh warga korban lumpur Lapindo, sampai jaminan yang masih menunggu pembuktian bahwa harga gabah petani tidak akan anjlok Juga, masa-masa sulit yang dihadapi sejumlah wilayah yang terkena musibah banjir dan tanah longsor. Itu semua memerlukan gaya pendekatan masing-masing.
Dengan mengandalkan paradigma tindakan strategis, pemerintah berusaha meraih pencapaian sukses lewat langkahlangkah rasional, misalnya menunggu hasil tim verifikasi untuk menghitung luas tanah dan bangunan milik warga korban lumpur panas PT Lapindo.
Selain itu, pemerintah lewat Menteri Perdagangan (Menperdag) Mari Elka Pangestu mengalkulasi bahwa rencana impor beras 1 juta ton tidak akan menganggu masa panen 2007 karena impor ditujukan untuk mengisi stok yang sekarang dimanfaatkan bagi operasi pasar. Bahkan, sebuah Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) bersikap proaktif dengan adanya bencana alam gempa. Menurut BMG, gempa di Lombok Senin (12/3) terjadi akibat patahan dangkal yang diperkirakan dapat merusak infrastruktur permukaan. Saat bersamaan terjadi gempa di Ternate, Maluku berkekuatan 5,2 skala Richter.
Ketika merespons flu burung, Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan menyatakan kasus yang mengancam jiwa manusia itu kini telah mencapai 85 kasus positif terjangkit virus H5NI. Di samping tindakan strategis, pemerintah menempuh paradigma komunikatif yang menitikberatkan pada orientasi pemahaman timbal balik antara pemerintah dan rakyat, rakyat dan pemerintah. Keduanya terikat dalam konsensus. Tindakan-tindakan ini antara lain ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pers menegaskan, sesuai amanat UUD 1945, semua warga negara harus mendapatkan layanan pendidikan sebagai salah satu hak dasar warga.
Ia menghargai rencana strategis pendidikan nasional yang memfokuskan pada perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata kelola yang akuntabel. Presiden bersama sejumlah menteri membahas prioritas program pendidikan nasional tahun 2007-2009.
Sebelumnya, Presiden juga menerima tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi (Timnas EKKT). “Fakta dan bukti di lapangan membenarkan kekhawatiran masyarakat selama ini bahwa tingkat keselamatan transportasi kita sangat rendah,” kata juru bicara Timnas EKKT Oetarjo Diran kepada wartawan setelah tim tersebut melapor ke Presiden. Dalam paradigma komunikatif ini, pemerintah lewat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mohammad Ma‘ruf bersama Pansus DPR menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu disetujui untuk dibawa ke Sidang Paripurna DPR. Dalam RUU itu, kewenangan Sekretaris Jenderal (sekjen) Komisi Pemilihan Umum (KPU) diperluas. Perluasan kewenangan Sekjen KPU ada dalam hal pengadaan dan pendistribusian alat-alat penyelenggaraan pemilu. Selain dua pendekatan di atas, masih ada paradigma mistis-religius ketika rakyat mencoba berdamai dengan alam, bersujud kepada Pencipta, setelah mereka mengalami berbagai bencana alam.
Warga bersama-sama melakukan arak-arakan keliling desa sambil membawa aneka sesaji yang diletakkan di pertigaan-pertigaan kampung dan sumber air Umbul Songo untuk memohon keselamatan dan berkah dari Pencipta. Sementara warga Dukuh Gunung Wijil, Desa Gubuk, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, melaksanakan ritual “nyadran” di makam leluhur
Mereka membawa tenong berisi makanan untuk makan bersama. Ritual berkala ini dilakukan pada bulan Safar yang juga dilakukan sebagai sarana silaturahmi. Ketiga paradigma pendekatan itu mengerucut pada situasi bahwa warga mengalami krisis. Setelah rakyat didera pahitnya dunia-kehidupan, mereka mengharapkan jalan keluar dari krisis yang membelit, dalam dunia drama Yunani, krisis dalam pengertian teori seni sejak filsuf Yunani dipahami sebagai titik balik dari proses nasib. Nasib kemudian diartikan sebagai sesuatu yang sudah melekat dalam jati diri orang. Bencana, musibah dan konflik dalam drama, dipandang sebagai pola tindakan dan bentuk kepribadian dari para pelakunya
Krisis, dalam perbendaharaan kerakyatan, mengacu pada segala peristiwa yang terjadi masa sekarang di tempat ini. Krisis dianggap bukan sebagai produk masa lampau, dan bukan juga produk persiapan untuk masa depan. Menurut sosiolog Ignas Kleden, krisis model ini memiliki sarat makna dan berkah, bahkan harus direbut dengan seketika (absolute presentness)
Krisis tersebut melahirkan chiliasme (pandangan utopian yang menolak proses sejarah). Dengan mengejawantahkan ruang dan waktu, masa sekarang difokuskan. Gerakan chiliasme dan mistik agaknya setali tiga uang, karena keduanya beranggapan bahwa masa kini dianggap telah dipenuhi oleh keabadian. Pemberontakan petani biasanya digerakkan oleh serangkaian motif chiliastik, karena masyarakat mengalami penderitaan yang teramat sangat. Mereka menunggu dan mengharapkan datangnya masa depan yang lebih baik, lebih menjanjikan” apakah rakyat kemudian menyandarkan diri pada etos yang berlaku? Penguasa adalah penguasa, bapak keluarga adalah bapak keluarga
Keluarga adalah lingkungan personal, sedangkan penguasa mencakup lingkungan fungsional, krisis demi krisis mendera warga, sementara tidak ada pilihan lain untuk memecahkan masalah yang merka hadapi. Pemerintah agaknya membuka peluang bagi pendekatan mitis-religius, Ini artinya bahwa warga sedang mengalami dan mencecap proses antikehidupan
Tiga pertanyaan di atas tetap tinggal pertanyaan, dan tidak lagi mengarah pada rakyat tetapi pada pemerintah. Apa yang dapat pemerintah ketahui? Apa yang seharusnya pemerintah lakukan? Apa yang bisa pemerintah harapkan? Habis bencana terbitlah krisis, habis krisis akan muncul situasi yang kadang tidak menarik mungkin bagi penguasa, tapi jangan salahkan bila ada pepatah yang berbunyi LAPAR PANGKAL ONAR DAN KENYANG PANGKAL AMAN
0 Comments:
Post a Comment