Adanya tuntutan atau "demanding" masyarakat lokal terkait dengan otonomi daerah pada saat reformasi digulirkan sesungguhnya diharapkan dapat membawa solusi bagi pembangunan ekonomi nasional. Namun karena pengelolaannya yang tidak mempertimbangan kepentingan nasional secara utuh, maka yang terjadi adalah justru sebaliknya dimana kemudian berdampak pada masalah manajemen pembangunan dan keamanan ekonomi, yang kemudian berujung kepada masalah perebutan sumber daya.
Karena itu, secara makro ekonomi Indonesia dilihat dari perspektif ketahanan ekonomi tidak menunjukkan sinergisitas dalam mendorong roda perekonomian nasional. Sementara itu, secara mikro ekonomi, nampak telah terjadi kesenjangan di tengah masyarakat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Di lain pihak beberapa kelompok masyarakat dapat menikmati kebutuhan yang lebih bersifat sekunder dan tertier, sehingga mendorong terjadinya disparitas ekonomi.
Begitu halnya adanya investasi asing di daerah-daerah yang semestinya dapat mendukung ekonomi masyarakat setempat justru memicu "social gap", yang kemudian berujung pada isu-isu politik seperti di Papua, Aceh, Riau. Karena itu yang paling penting dalam mengatasi masalah keamanan ekonomi saat ini paling tidak kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi secara baik sehingga tidak berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Sebagai ilustrasi beberapa waktu lalu yang terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan BBM, telepon dan tarif dasar listrik termasuk kenaikan bebarapa bahan pokok telah menjadi sumber pemicu munculnya gejolak sosial yang mengarah pada tindakan anarkis sejumlah kelompok masyarakat yang kemudian mengganggu kamtibmas.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia pada dasarnya bersifat moderat dan akomodatif, hal ini terlihat bahwa sebagian besar masyarakat masih bersifat terbuka untuk saling menghargai suku, agama, maupun golongan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia meskipun bersifat pluralistik akan tetap mempunyai potensi dalam melaksanakan pola-pola hubungan sosial antar kelompok. Terganggunya pola hubungan sosiat masyarakat sebenarnya tidak terlepas dengan adanya eforia demokrasi yang berlebihan yang kemudian justru merusak semangat reformasi. Adanya tindakan yang amat impulsif dan dangkal oleh masyarakat tersebut mempunyai implikasi terhadap kebebasan yang tidak terkontrol sehingga mengancam kondusifitas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kondisi masyarakat Indonesia yang rentan terhadap tindakan provokasi memudahkan konflik komunal berkembang cepat dan luas, serta memungkinkan gangguan terhadap ketertiban publik yang secara eskalatif dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Struktur masyarakat yang heterogen, tingkat pendidikan yang belum maju, serta krisis ekonomi yang belum pulih, menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin mengganggu stabilitas nasional.
Oleh karena itu, secara faktual bila dilihat dari komposisi masyarakat Indonesia yang heterogen tersebut, yang juga disertai karakteristik geografis berupa Negara kepulauan, sungguh sangat disadari bahwa potensi ancaman integritas bangsa tidak dapat dipisahkan oleh meluasnya friksi-friksi komunal selama ini. Sebagai ilustrasi bahwa konflik komunal selama ini dipicu oleh eksklusivisme suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), serta kesenjangan sosio-ekonomi. Selain itu, perpindahan penduduk secara massal dari satu wilayah ke wilayah lain selain berpengaruh terhadap tata kehidupan dan budaya setempat, juga berpotensi sebagai sumber konflik (clash of civilization). Konflik yang terjadi di Maluku, Sulawesi Tengah (Poso), Kalimantan (Sanggau Ledo, Sampit, Sambas), adalah contoh konkrit konflik komunal yang bersumber pada ethno-religiuos. Kerugian yang diakibatkan oleh konflik komunal yakni timbulnya gelombang pengungsian, penderitaan luar biasa bagi masyarakat, korban jiwa, serta kerugian harta benda yang cukup besar.
Resiko terbesar yang ditimbulkan oleh konflik komunal adalah rusaknya solidaritas berbangsa maupun rusaknya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam skala besar menyebabkan terganggunya kegiatan pemerintahan, terhambatnya kegiatan pelayanan masyarakat, serta terbengkalainya penyelenggaraan pendidikan.
Dari uraian tentang kondisi keamanan domestik dihadapkan dengan pembangunan hukum nasional, terdapat keterkaitan yang erat. Salah satu substansi semangat reformasi adalah menegakkan supremasi hukum. Semangat reformasi untuk menegakkan hukum tersebut jangan sampai hanya suatu retorika belaka. Sepanjang perjalanan pemerintahan reformasi secara jujur kita harus berkata bahwa hukum belum superior. Bahkan sebaliknya politik seringkali superior dari hukum.
Berbagai permasalahan yang menjadi lingkup hukum justru diselesaikan melalui political bargainning. Pertanyaan kemudian adalah sampai kapankah kondisi seperti ini terus berlangsung? ataukah harus kita akhiri dengan menempatkan hukum sebagai yang superior. Praktek di lapangan produk hukum tidak menjadi subtansi dari pelaksanan hukum, akan tetapi pasal demi pasal dalam undang-undang cenderung menggiring pada kepentingan politis, bukan kepentingan hukum”. Sehingga kesan yang muncul adalah undang-undang adalah produk politik dan bukan produk hukum