JAKARTA - Disepakatinya parliamentary threshold (PT) 2,5 persen di UU Pemilu yang baru merupakan langkah maju sistem politik nasional. Dengan ditetapkannya PT, partai-partai politik peserta Pemilu 2009 yang perolehan suara kurang dari 2,5 persen total pemilih nasional tidak bisa mendapatkan kursi di DPR.
Hanya, sebagian kalangan menilai, angka PT yang hanya 2,5 persen itu terlalu kecil. Akibatnya, kompleksitas parpol di parlemen masih mungkin terjadi pasca Pemilu 2009. "Berapa lagi waktu yang dibutuhkan untuk membangun kepartaian yang mantap," kata mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dalam diskusi publik UU Pemilu Baru dan Konsekuensinya di Hotel Santika, Jakarta, kemarin (05/03).
Guru besar Universitas Airlangga itu juga mengkritisi tidak dicantumkannya formulir berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara sebagai salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang diatur pasal 145 UU Pemilu.
Hanya, sebagian kalangan menilai, angka PT yang hanya 2,5 persen itu terlalu kecil. Akibatnya, kompleksitas parpol di parlemen masih mungkin terjadi pasca Pemilu 2009. "Berapa lagi waktu yang dibutuhkan untuk membangun kepartaian yang mantap," kata mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dalam diskusi publik UU Pemilu Baru dan Konsekuensinya di Hotel Santika, Jakarta, kemarin (05/03).
Guru besar Universitas Airlangga itu juga mengkritisi tidak dicantumkannya formulir berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara sebagai salah satu jenis perlengkapan pemungutan suara yang diatur pasal 145 UU Pemilu.
Pada pasal itu hanya disebut kotak suara, surat suara, tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk memberikan tanda pilihan, dan tempat pemungutan suara. Ada pun tanggung jawab pengadaan barang diserahkan kepada Sekjen KPU.
Persoalannya kemudian, jelas Ramlan, bagaimana pengadaan formulir berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara. "Apa KPU melalui Sekjen KPU berhak melakukan pengadaan barang? Salah-salah malah berakhir di penjara," ujarnya.
Diskusi yang dimoderatori calon anggota Banwaslu Refli Harun itu turut menghadirkan sejumlah pembicara lain. Mereka adalah Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Syaifuddin, anggota FPKS yang juga anggota Pansus RUU Pemilu Agus Purnomo, Direktur CETRO Hadar Navis Gumay, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, dan Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Topo Susanto.
Topo yang juga mantan anggota Panwaslu pusat itu mengakui, UU Pemilui yang baru memang lebih ketat mengatur sanksi pidana. Khususnya bagi penyelenggara pemilu. Bila UU Pemilu yang lama, yaitu UU No.12/2003 terdapat 31 pasal ancaman pidana, UU Pemilu yang baru bertambah 20 pasal menjadi 51 pasal.
"Di luar pasal-pasal yang mengancam perusahaan atau lembaga survei, mayoritas sanksi pidana ditujukan kepada pihak penyelenggara pemilu," katanya. (pri/mk)jawapos.
Diskusi yang dimoderatori calon anggota Banwaslu Refli Harun itu turut menghadirkan sejumlah pembicara lain. Mereka adalah Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Syaifuddin, anggota FPKS yang juga anggota Pansus RUU Pemilu Agus Purnomo, Direktur CETRO Hadar Navis Gumay, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, dan Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Topo Susanto.
Topo yang juga mantan anggota Panwaslu pusat itu mengakui, UU Pemilui yang baru memang lebih ketat mengatur sanksi pidana. Khususnya bagi penyelenggara pemilu. Bila UU Pemilu yang lama, yaitu UU No.12/2003 terdapat 31 pasal ancaman pidana, UU Pemilu yang baru bertambah 20 pasal menjadi 51 pasal.
"Di luar pasal-pasal yang mengancam perusahaan atau lembaga survei, mayoritas sanksi pidana ditujukan kepada pihak penyelenggara pemilu," katanya. (pri/mk)jawapos.
0 Comments:
Post a Comment