”Sumber daya hutan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa ebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obatobatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain. Oleh karena itu, sumber daya hutan merupakan objek sekaligus subjek pembangunan yang sangat strategis”
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas dan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu ditetapkan jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan”
Pada 22 Maret lalu , Presiden SBY menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2008 dikeluarkan hanya untuk mengatur ijin 13 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan. Hanya seminggu setelahnya (Kompas,29/03), Purnomo Yusgiantoro - menteri ESDM, di depan ratusan pengusaha mengungkapkan segera menerbitkan sebuah Keppres, yang memungkinkan perusahaan tambang lain bergabung, membabat hutan lindung diubah kawasan tambang skala besar.
Apa yang sedang dimainkan Kabinet Indonesia Bersatu? Bersatu membodohi rakyatnya, atau Menteri ESDM sedang mengibuli Presidennya? PP No 2 tahun 2008 akan melegalkan pembalakan hampir sejuta ha hutan lindung yang tumpang tindih dengan konsesi 13 perusahaan tambang skala besar. PP ini dikeluarkan, disaat pemerintah tak mampu menurunkan laju kerusakan hutan dan memulihkan lahan-lahan hutan yang rusak. PP ini juga mengakomodasi berbagai industri ekstraktif lainnya seperti industri minyak dan gas. Ini skandal untuk melegalkan pembalakan besar-besaran kawasan hutan lindung.
Pernyataan SBY yang dikutip Antara (22/02), bahwa PP ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menyelamatkan bumi, sangat menghina akal sehat. Ini membuktikan ia gagal memahami masalah dan krisis yang dihadapi negeri ini.
Data Greenomics Indonesia menunjukkan tarif sewa dari PNBP untuk 13 perusahaan tambang itu hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96% dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun.
Siapa yang akan menanggung kerugian tersebut? Haruskah Pemerintah daerah (Pemda) dan warga sekitar lokasi tambang yang menanggung akibat penambangan dan pembalakan hutan, yang dilegalkan melalui PP no 2 2008 diatas, sementara pemda hanya mendapat bagian kecil dari Pendapatan Negara Bukan Pajak begitu hutan mereka sudah ditebang dan pemda akan merasakan dampaknya saat musim hujan pertama datang. Bencana banjir dan longsor akibat rusaknya kawasan tangkapan air berpotensi terjadi bersamaan hilangnya fungsi lindung hutan.
Sementara itu, anggaran penanganan bencana di daerah tak bertambah, penduduk lokal dan Pemda akan mendapatkan beban ekonomi, sosial dan lingkungan menangani bencana tersebut? Dampak selanjutnya adalah penduduk sekitar pertambangan akan berpotensi tinggi mengalami krisis air. Pertambangan adalah industri yang rakus air, karena pertambangan membutuhkan air dalam jumlah besar. Ditambah limbah tailing pertambangan yang dalam jumlah besar juga beresiko mencemari sumber-sumber air sekitar lokasi pertambangan.
Berbagai bencana terjadi di masa pemerintahan SBY, mulai bencana alam di NAD hingga Papua. Juga bencana lingkungan macam lumpur Lapindo, banjir dan longsor langganan tiap musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Itu mestinya membuat pemerintahan SBY berkaca dan berhenti mengeluarkan produk kebijakan yang membahayakan keselamatan rakyat, diakhir masa kepemimpinannya. SBY harus segera mencabut PP No 2 tahun 2008, jika Kabinet Indonesia Bersatu tak ingin dikenang sebagai Kabinet Bencana. Sumber (Siaran Pers JATAM, 7 Maret 2008, media jatim dll)
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas dan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu ditetapkan jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan”
Pada 22 Maret lalu , Presiden SBY menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2008 dikeluarkan hanya untuk mengatur ijin 13 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan. Hanya seminggu setelahnya (Kompas,29/03), Purnomo Yusgiantoro - menteri ESDM, di depan ratusan pengusaha mengungkapkan segera menerbitkan sebuah Keppres, yang memungkinkan perusahaan tambang lain bergabung, membabat hutan lindung diubah kawasan tambang skala besar.
Apa yang sedang dimainkan Kabinet Indonesia Bersatu? Bersatu membodohi rakyatnya, atau Menteri ESDM sedang mengibuli Presidennya? PP No 2 tahun 2008 akan melegalkan pembalakan hampir sejuta ha hutan lindung yang tumpang tindih dengan konsesi 13 perusahaan tambang skala besar. PP ini dikeluarkan, disaat pemerintah tak mampu menurunkan laju kerusakan hutan dan memulihkan lahan-lahan hutan yang rusak. PP ini juga mengakomodasi berbagai industri ekstraktif lainnya seperti industri minyak dan gas. Ini skandal untuk melegalkan pembalakan besar-besaran kawasan hutan lindung.
Pernyataan SBY yang dikutip Antara (22/02), bahwa PP ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menyelamatkan bumi, sangat menghina akal sehat. Ini membuktikan ia gagal memahami masalah dan krisis yang dihadapi negeri ini.
Data Greenomics Indonesia menunjukkan tarif sewa dari PNBP untuk 13 perusahaan tambang itu hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96% dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun.
Siapa yang akan menanggung kerugian tersebut? Haruskah Pemerintah daerah (Pemda) dan warga sekitar lokasi tambang yang menanggung akibat penambangan dan pembalakan hutan, yang dilegalkan melalui PP no 2 2008 diatas, sementara pemda hanya mendapat bagian kecil dari Pendapatan Negara Bukan Pajak begitu hutan mereka sudah ditebang dan pemda akan merasakan dampaknya saat musim hujan pertama datang. Bencana banjir dan longsor akibat rusaknya kawasan tangkapan air berpotensi terjadi bersamaan hilangnya fungsi lindung hutan.
Sementara itu, anggaran penanganan bencana di daerah tak bertambah, penduduk lokal dan Pemda akan mendapatkan beban ekonomi, sosial dan lingkungan menangani bencana tersebut? Dampak selanjutnya adalah penduduk sekitar pertambangan akan berpotensi tinggi mengalami krisis air. Pertambangan adalah industri yang rakus air, karena pertambangan membutuhkan air dalam jumlah besar. Ditambah limbah tailing pertambangan yang dalam jumlah besar juga beresiko mencemari sumber-sumber air sekitar lokasi pertambangan.
Berbagai bencana terjadi di masa pemerintahan SBY, mulai bencana alam di NAD hingga Papua. Juga bencana lingkungan macam lumpur Lapindo, banjir dan longsor langganan tiap musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Itu mestinya membuat pemerintahan SBY berkaca dan berhenti mengeluarkan produk kebijakan yang membahayakan keselamatan rakyat, diakhir masa kepemimpinannya. SBY harus segera mencabut PP No 2 tahun 2008, jika Kabinet Indonesia Bersatu tak ingin dikenang sebagai Kabinet Bencana. Sumber (Siaran Pers JATAM, 7 Maret 2008, media jatim dll)
0 Comments:
Post a Comment