7/23/2007

MISS KOMUNIKASI SEBAGAI AKAR KONFLIK!!

Beberapa waktu lalu, tentunya sebagian masyarakat bangsa mengetahui tentang kasus kartunisasi Nabi Muhammad SAW di harian Denmark Jyllands Posten dan penyebarluasannya di media massa Eropa, yang diprotes sebagian umat Islam dunia, semakin memperkuat momentum mengembangkan dialog antara agama dan antar kawasan Asia Pacific dan Asia Eropa (ASEM).

Atau juga kasus-kasus Salman Rushdi di Inggris (19869), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan Theo van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks berbeda, menyisakan berbagai persoalan kompleks hubungan antar komunitas di tingkat kawasan dan global. Diantara persoalan yang belum serius didialogkan adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah Negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, makna kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.

Contoh lain, pembakaran bendera PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) oleh massa FPI (Front Pembela Islam) di SAMARINDA (Suara Karya 13 juli 2007): Puluhan massa Front Pembela Islam (FPI) Kaltim "menyerbu" Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAIN) Samarinda di Jalan Abul Hasan, aksi demo itu terkait dengan pemuatan karikatur Nabi Muhammad, SAW dalam buletin kampus "Sapu Lidi"

Aksi unjuk rasa itu dipimpin langsung Ketua FPI Kaltim Muhammad Alwi Assegaf. Dengan mengendarai sebuah mobil "pick up" serta puluhan kendaraan roda dua, massa bergerak dari Lapangan Gelanggang Olahraga Segiri Jalan Kusuma Bangsa sekitar pukul 09:00 Wita dan langsung memarkir kendaraan di depan pintu masuk kampus STAIN. Perwakilan pengunjuk rasa langsung diterima pihak STAIN yang difasilitasi Wakapoltabes Samarinda, Ajun Komisaris Besar Hadi Purnomo. Namun, saat perwakilan massa melakukan pertemuan dengan pihak Kampus STAIN sebahagian pengunjuk rasa berorasi di depan kampus sambil membagikan selebaran dan membakar dua bendera PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Dari contoh diatas, dialog antar pemeluk agama dan dialog antara kawasan seperti disinggung Yudhoyono harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance (ketidaktahuan) dalam bentuk penghubungan intrinsik antara Islam dan terorisme, Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Di pihak lain, di kalangan umat Islam, masih ada tindakan-tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah dan peradaban bangsa lain.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sulitkan melakukan komunikasi? sulitkah melakukan dialog antar-agama? Seperti diskusi, dan percakapan yang berlangsung dalam pertemuan Dialog Antar-agama Regional Asia Pasifik II di Waitangi, Selandia Baru, 29-31 Mei, dialog semacam itu tidaklah sulit. Mungkin juga karena acara itu sudah tiga kali digelar. Setelah dilakukan pertama kali di Yogyakarta akhir 2004 atas prakarsa Pemerintah Indonesia dan Australia, dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Cebu, Filipina, Maret 2006, yang pemrakarsanya bertambah, yaitu dari Pemerintah Filipina dan Selandia Baru. Dialog pun berlanjut di Waitangi.

Peserta pertemuan itu adalah para tokoh agama dari negara anggota ASEAN, Australia, Selandia Baru, Timor Leste, Papua Niugini, dan Fiji. "Dalam kesempatan semacam ini, orangnya sebagian besar itu-itu saja. Jadi memang sudah tak punya masalah dalam berdialog antarkami," kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang ikut dalam ketiga dialog itu. Seringnya bertemu dan bertukar pikiran itu mungkin salah satu alasan mengapa dialog yang terjadi di Waitangi berlangsung mulus. Namun, apalah artinya dialog kalau tidak menghasilkan yang lebih dari sekadar bicara- bicara.

Tampak "terlihat adanya kemajuan dari upaya dialog ini," kata Andri Hadi, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu RI yang memimpin rombongan Indonesia yang terdiri atas para tokoh agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik. Dialog sudah membicarakan "Plan of Action" yang disebutkan dalam Deklarasi Waitangi, sebagai tindak lanjut dari upaya ini.

Selanjutnya, berkenaan dengan makin merebaknya isue dan berujung pada pertikaian antar kelompok, golongan bangsa dan agama, hal yang perlu kita lakukan, antara lain adalah mempercepat dan mendorong proses wacana demokratisasi berbangsa dan beragama dalam masyarakat, dan hal tersebut tidaklah mungkin dilakukan kalau komunikasi antara agama, lapisan masyarakat, serta komponen lain tidak terbangun dengan baik/alias jelek.

Oleh sebab itulah STRATKOM (strategi komunikasi) antar agama mesti dibangun kembali, agar kedepan tidak terjadi “miss komunikasi” yang berujung kepada tindakan anarkis dan cenderung merugikan banyak kalangan, kelompok, penyebab struktural konflik harus ditangani dengan serius, karena ini menyangkut tercapainya keamanan di kawasan global, dan bukan pada tataran keamanan local saja, bila tidak serius kita akan menyesal di kemudian hari.
Adapun langkah pembenahan stratkom itu bisa diawali dari misalnya, pemerintah melakukan pemberdayaan kaum minoritas atau pemberdayaan masyarakat muslim dan non muslim, atau pemberdayaan kaum moderat sehingga masing-masing berperan aktif dalam menentukan terciptanya keamanan dan perdamaian di setiap kawasan.

Pendidikan dan media mendapat perhatian khusus, dengan pendidikan agama untuk meningkatkan pengertian akan agama dan kebudayaan yang berbeda pada tingkat sekolah menjadi salah satu kunci. Semoga STRATKOM antar agama tidaklah mandeg hanya menjadi wacana-wacana, akan tetapi ditindaklanjuti dalam kehidupan yang nyata. (Dikutip dari berbagai macam sumber).

0 Comments:

 
ss_blog_claim=c4f1c8c20848112b99380e071226db1c